Rabu, 07 Maret 2012

Ujung Aspal Pondok Gede


Ujung Aspal Pondok Gede, banyak menyimpan cerita dari judul lagu tersebut. Berbagai kultur dan budaya menjadi cerita tentang indahnya dusun yang ramah dengan para penghuninya. Dalam lagu tersebut menceritakan tentang para pribumi yang resah oleh sebuah rencana tata letak kota, tidak mustahil kalau cerita itu juga mengungkit ingatan kita tentang undang-undang agraria yang saat ini sedang menggaung oleh polemik yang terjadi saat ini.
Sedikit menyinggung masalah hak para pribumi yang pernah terjadi sepanjang masa, sengketa tanah menjadi pembicaran hangat dikedai-kedai warung kopi.Sayang ketika lagu itu menjadi hits dikalangan para pemuda, mereka belum siap dengan segala bentuk permasalahan sehinga mereka hanya terbuai oleh lantunan keindahan sebuah syair. Keluguan para penghuni masih menyimpan potret kepasrahan sebagai ketidak berdayaan, maklum waktu itu segala bentuk penghambat pembangunan sangat ditakuti.
Tapi itu sudah diabadikan lewat lagu sehingga kita hanya bisa melihat sebagai kilas balik terhadap penomena yang terjadi akhir-akhir ini. Cerita itu akan menjadi kunci sejarah  tentang keragaman segala macam potret negeri ini. Biarlah cerita itu  menjadi bahan obrolan di kedai-kedai warung kopi, Ujung Aspal Pondok Gede masih menyimpan cerita keragaman yang masih bisa kita angkat seperti kebudayaan maupun kultur kehidupan yang masih tersisa.
Sebuah Kultur Yang Masih Tersisa Sebagai Keragaman Budaya
Keunikan dan kergaman budaya sebagai pelengkap cerita ini masih berkisah tentang keraripan lokal para penghuni dusun.Keranggan nama kampung itu, semua orang sudah pasti ingat ujung aspal pondok gede,apa lagi dikalangan anak muda nama itu sudah sangat melegenda lewat lagunya Iwan Fals, ” Ujung  Aspal Pondok Gede. “
Nama Keranggan tidak akan lepas dari ujung aspal pondok gede,karena memang lokasinya disana. Sebelah selatan kota Bekasi dan juga perbatasan dengan Cilengsi Bogor, itulah kampung kerangan. Masyarakat disana masih mengenal kepercayaan nenek moyang, meskipun ajaran Islam sudah lama berkembang. Memang tradisi sangat kuat untuk dihilangkan, disudut-sudut jalan ataupun pertigaan jalan masih sering kita temui sebuah suguhan ancak, ( berbagai macam suguhan untuk para leluhur).
Ancak namanya bagi masyarakat setempat, atau sesajen bagi masyarakat sunda. Pada hari-hari tertentu kalau kita telusuri lebih dalam, masih ada tempat untuk dijadikan semacam sarana untuk permohonan atau ritual, salah satunya sumur binong. Lokasinya tidak begitu jauh dari perbatasan kampung keranggan dengan Cilengsi. Penduduk setempat menamakan keranggan wetan tepatnya dibelakang perumahan Jatisari Bekasi.
Sumur Binong, demikian masyarakat setempat menamakannya. Letaknya jauh dari keramaian pemukiman, meskipun ada beberapa rumah penduduk, tapi tetap saja suasana mistis kampung itu masih terasa, kesunyian menjadi sebuah sakral untuk mengolah rasa, suasana semakin mecekam apa lagi jika semilir angin berhembus membuat merinding bulu kuduk karana pepohonan menemani irama misitis apa lagi jika malam suasana semakin mencekam.
Tapi tak usah kuatir, tempat itu nampak ramai pada malam-malam tertentu seperti malam satu suro , malam maulid dan juga malam-malam lainnya malam jumat salah satunya. Tempat itu banyak dikunjungi orang-orang dari kampung sekitar, bahkan ada juga dari luar kota seperti Bogor,Sukabumi yang datang untuk berkunjung ketempat itu.
Mau apa yach mereka? coba kita tanya kepada salah seorang yang pernah kesana, mas Tukiman salah satunya. Seorang pedagang bakso yang sering penulis temui, ia banyak bercerita tentang Sumur Binong karena memang ia pernah kesana. “…tempat itu berbentuk Sendang dalam bahasa Jawa, dan setiap malam jumat banyak dikunjungi oleh para pengunjung untuk mandi atau sekedar mencuci muka. katanya sich untuk awet muda atau cepat mendapat jodoh tergantung niatan hati…’   demikian tuturnya sembari menceritakan apa yang pernah ia alami disekitar tempat itu.
Itu salah satu sisa kepercayaan masyarakat keranggan sebagai keragaman budaya yang patut kita lestarikan sebagai bentuk pelestarian tradisi asalkan masih bisa diterima sebagai batas kewajaran yang tidak menyimpang. Cerita  tentang Ujung Aspal Pondok Gede menyimpan berbagai keragaman budaya dan segala permasalahannya menjadi sebuah pembelajaran.

Selasa, 06 Maret 2012

Tentang Kita


Malam yang gelap,
mengapa engkau datang menjemput
Mengapa engkau tak pergi saja menjauh dari hidup ku
Hampa jiwa ini terasa mencengkram kuat dalam sanubari
Dan semua ini terjadi,karena kamu.
Teringat saat masa indah dulu kita bersama
menyandarkan cinta pada setumbun bunga tulip
berdiri sejajar dan melangkah bersama menembus batas
untuk selalu meninggikan kata setia di dalam hati
Dulu kita selalu berharap bersama
untuk menjadi sepasang burung cendrawasi
yang sama-sama indah dan menawan
dan semenanya merupakan simbol keabadian cinta
Namun kini,
hanya sebuah luka yang aku rasakan
sangat perih,dan terasa pedih menghujam jantung
lunglai jiwaku,lunglai juga raga ku
Kenyataan yang  sungguh memilukan
kapan  ini semua akan berakhir
aku telah menyesalinya sekarang
begitu sakit,dan tidak akan ku ulangi lagi
Akankah dapat sebelah sayap cendrawasi itu kembali
untuk saling mengisi kembali lembaran cerita cinta yang dulu pernah ada
yang akan selama nya ada dan menjadi simbol
bahwa cinta itu indah
...
:)

Sabtu, 03 Maret 2012

Part 1


Part 1

Suara adzan telah berkumandang ke segala penjuru alam semesta, seraya ingin menyuguhkan sebuah keagungan tuhan yang maha kuasa, suara takbir membahana bersaut-sautan, indah dan selalu menentram kan hati.
Belum banyak orang yang terjaga dalam hak-hak tidur nya, jika lau pun terjaga mereka malah banyak yang memilih untuk melanjut  kan tidur nya, bila dibandingkan dengan rukuk dan sujud terhadap tuhan seru sekalian alam.
Ijen, pemuda kelahiran 08 Januari  1992  ini sekelebat bangkit dari tidur nya lalu bergegas menuju ke surau untuk melaksanakan kewajiban nya. Ia selalu teringat oleh pesan dari Alm Ayah nya yakni”le, ojo pisan-pisan nyubo ninggal ne sholat nggeh, sholat kui keutama ane dalem islam, rukun islam seng ke loro, inget lek rajin sholat karo dungo, yo insyaalah gusti Allah bakal ngelapangke urusane dewe”.
Ijen lalu bergegas mengambil air wudhu, dan ia pun ikut ambil shaf sebagai makmum dalam sholat berjamaah yang hikmat dan sunyi. Bagaimana tidak sunyi, di dalam sebuah surau yang luas nya kira-kira panjang 7 meter dan lebar 6 meter tersebut, hanya ada 3 orang dalam sholat berjamaah tersebut. Padahal letak surau tersebut bisa di bilang strategis, karena terletak di tengah-tengah perkampungan yang padat penduduk dan terletak di seberang jalan kabupaten.
Setelah mengucapkan salam, dangan bercucuran air mata dan dengan kerendahan jiwa yang sedalam-dalam nya tidak lupa ia berdzikir membaca tasbih, tahmid dan tahlil serta berdoa untuk Ayah nya agar diberikan tempat yang paling indah yaitu surga, dimana setiap manusia selalu mengharapkan nya.
Bagi ijen, tidak ada waktu bagi nya untuk bersantai dan menikmati hidup layak nya pejabat-pejabat pemerintahan yang banyak dinilai orang, hidup dalam bergelimangan harta, padahal jika dipikir kembali, bukan nya para penjabat pemerintah itu tugas nya mengabdi dan mengayomi  rakyat,dengan tujuan akhir nya memakmurkan dan mensejahterakan. Namun kembali lagi, itulah dilema yang terjadi di bangsa kita tercinta ini, bukan rakyat yang dijadikan prioritas pertama bagi para penjabat-penjabat negara,namun malah kekayaan dan kekuasaan yang diperjuangkan dan diagung-agungkan.
Mentari pun mulai terbit dengan cahaya hangat yang dengan mudah nya merobohkan sisa-sisa kedinginan tadi malam, embun-embun pun mulai jatuh mengering lalu meraba rerumputan hijau yang menghampar luas.
Ijen bergegas mempersiapkan dirinya untuk pergi mengikuti kuliah pagi yang akan di mulai pada pukul 08.00. Meskipun waktu masih menunjukkan pukul 07.15, namun ijen memutuskan untuk berangkat menuju kuliah nya, dalam prinsip hidup nya, ia ingin selalu jadi yang pertama dalam bidang apapun, terkecuali jika apa yang di lakukan nya itu tidak menyimpang dari keyakinan yang di anut nya.

Dalam perjalanan menuju kampus, tidak dapat terhitung lagi berapa banyak tasbih, tahmid, dan tahlil yang Ijen ucap kan dalam hati nya, ia selalu bertawakal dan meminta agar Allah Swt selalu melindungi nya dari segala marabahaya dan segala sesuatu yang dapat membuat nya jauh dari jalan yang di ridhoi nya, dia sadar betul bahwa hidup di abad 21 ini tidak lah mudah untuk menjaga keimanannya dengan baik,h idup sudah semakin bebas, pergaulan sudah sangat mengerikan. nilai-nilai dan norma pun seakan-akan sudah mulai memudar seiring modern nya dunia ini, hubungan sex bebas pun yang dulu di anggap tabuh dan tidak patut untuk dilakukan kecuali sudah dalam sebuah ikatan, sekarang malah jadi seperti candu yang makin lama semakin marak terjadi.
Belum banyak orang yang lalu lalang di dalam kampus, hanya beberapa orang saja yang terlihat dalam pandangan Ijen, ia lalu meraih tas butut nya dan mengambil beberapa buku bacaan untuk dijadikan nya teman  menunggu yang bermanfaat.
Waktu terasa cepat berlalu ketika kita merasakan nya dengan senang hati, agak nya itu yang dirasakan oleh Ijen ketika ia sedang asik membaca buku nya. Tidak terasa telah banyak mahasiswa yang telah lalu lalang disekitar nya, bahkan tidak sedikit pula mahasiswa-mahasiswa itu yang mau menyapa Ijen. Namun ijen seperti asik dalam dunia membaca sendiri, sebentar ia mendongakkan kepalanya lalu membalas sapaan dari teman nya dan setelahnya ia pun melanjutkan membaca buku nya kembali.
Hari ini  ada tugas presentasi mengenai “Tingkat Kesejahteraan di Indonesia”, maka dari itu Ijen membaca beberapa buku yang berkaitan dengan topik tersebut agar mendapatkan referensi untuk tugas presentasinya. Ia tidak mau jika  hanya asal berkata tanpa adanya bukti yang kuat, dan untuk mengantisipasi agar dirinya tidak kikuk saat menjawab pertayaan, jikalau nanti ada teman nya yang membutuhkan penjelasan yag lebih rinci dari nya.

Dosen telah datang, dan para mahasiswa pun telah memasuki ruangan. Setelah memberi salam Bapak Dosen pun langsung pada apa yang ingin disampaikan nya,”Baik, mengenai materi kita mengenai tingkat kesejahteraan di indonesia, silahkan untuk maju dan mempresentasikan nya”.
Ijen pun maju dengan wajah yang cerah, tampak tidak ada beban yang dirasakan nya saat itu, berbeda dengan wajah-wajah mahasiswa lain, yang menunjukan berbagai ekspresi wajah yang beraneka ragam, dari yang pucat, tegang, salah tingkah, dan masih banyak lagi. Sebenarnya pun ijen juga merasa seperti itu sebelumnya, namun ia sangat yakin bahwa Allah akan membantu nya,maka ia ucapkan Bismillah dengan lantang di dalam hati, lalu menghirup nafas sedalam-dalam nya. Dan ia maju dengan wajah yang santai dan pasti.
Panjang lebar ijen telah menjelaskan secara runtut tantang materi tersebut, ia pun menjelaskan nya dengan bahasa yang lebih fleksibel, sehingga mudah untuk di ambil inti dari apa yang di ucap kan nya. Dan saat tiba di sesi tanya jawab, muncul lah pertanyaan yang kritis dari Lusi,”Baiklah, terima kasih atas waktu nya. Jadi begini pertanyaan saya. Tahun demi tahun, pemerintaan telah silih berganti, namun pertanyaan yang patut terlontarkan, sudah sejahterahkah masyarakat di negeri ini”.
Pertanyaan yang sangat bagus sehingga Ijen pun terdiam sesaat untuk memikirkan jawaban yang terbaik sehingga akan membuat Lusi paham. Setelah beberapa saat waktu berlalu, Ijen pun terseyum dan menjawab nya dengan tenang.”Pertanyaan tersebut patut anda kemukakan, sebab hampir disetiap periode kepemimpinan kepemerintahan, jargon kesejahteraan selalu melekat dalam setiap orasi-orasi nya. Bahkan hal tersebut selalu digunakan sebagai doktrin untuk melanggengkan kemauan pemerintah. Baik,sebenarnya ada tiga indikator yang harus dibenahi untuk mengukur kesejahteraan masyarakat yaitu pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat terhadap suatu produk. Disini lah peran utama dari distribusi yang artinya ketiga indikator tersebut juga harus diterapkan dengan prinsip pemerataan”.
Lalu Nirwana pun melanjutkan pertanyaan dari lusi, ia mengacungkan tengan setinggi-tinggi nya demi untuk mendapatkan perhatian dari Ijen.
“Baik lah Nirwana,silahkan”respon Ijen kepada Nirwana.
“Terima kasih sebelum nya atas waktu yang diberikan kepada saya, jadi begini, saya hanya ingin diperjelas lagi tentang penjelasan anda mengenai tiga indikator untuk mengukur kesejahteraan masyarakat seperti yang anda sebutkan tadi”. Sambil terus memandangi wajah Ijen.
Ijen yang merasa telah paham betul akan pertanyaan yang di ajukan oleh Nirwana, dengan tersenyum manis kembali menjawab pertanyaan tersebut.
”Baik,pertama dari segi pendidikan, yakni dapat di ukur dari tingkat buta huruf dan pendidikan terakhir di dalam masyarakat. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat pendidikan didalam masyarakat, maka semakin besar juga peluang untuk dapat mendongkrak nasib untuk hidup yang lebih baik, karena juga pendidikan merupakan sarana utama lembaga sosial yang  berfungsi untuk mengolah sumber daya alam yang mampu bersaing di dunia luar.
Kedua yaitu kesehatan, kesehatan merupakan sarana penunjang yang vital untuk mengukur angka kesejahteraan masyarakat, dimana angka harapan hidup menjadi suatu pedoman apakah negara itu sudah sejahtera dan memakmurkan masyarakat nya atau belum”.
Dan selanjutnya adalah daya beli masyarakat terhadap suatu produk dimana hal ini berkaitan dengan pendapatan per kapita penduduk nya yang tentu nya menyesuaikan dengan keinginan serta kemampuan masyarakat, jadi dalam indikator ini dapat disimpulkan bahwa apabila tingkat kesejahteraan masyarakat tinggi, maka akan terlihat dengan tinggi nya minat-minat  masyarakat terhadap suatu produk maupun jasa”.
Semua nya terhenyak mendengar penjelasan Ijen yang runtut dan jelas tersebut, dan suara tepuk tangan pun terdengar bergemuruh di dalam ruangan kelas, bahkan Dosen kelas yang mengajar pun ikut bertepuk tangan atas penjelasan Ijen tadi.
Kelas pun telah usai, Ijen pun memilih untuk pulang ke kosan nya, walaupun banyak ajakan dari teman-teman nya untuk jalan dan nongkrong-nongkrong untuk mencari kesenangan. Namun Ijen menolak nya dengan bahasa yang sederhana dan halus, sehingga teman-teman nya pun mengerti jika Ijen tidak bisa ikut dengan nya. Sebenarnya dari hati yang paling dalam, Ijen pun ingin bermain dan ikut bersenang-senang dengan teman-teman nya tersebut, Namun karena ia takut akan pergaulan di zaman westernisasi yang menurut nya tak ada faedah nya ini. Maka ia pun mengurungkan niat nya untuk ikut dan langsung pulang menuju kosan nya.
Siang ini terasa panas sekali, angin rasanya seperti tak mau bersahabat dengan keadaan, teriknya matahari dengan bulatan utuh yang sudut nya tepat di atas kepala pun terasa sangat menusuk kulit, belum lagi polusi-polusi udara yang semakin lama semakin pekat sehingga menimbulkan dampak yang buruk dari berbagai segi kehidupan.
Dan dengan tergopoh-gopoh, Ijen pun akhirnya sampai di kost an nya dengan wajah yang nampak kelelahan, ia pun dengan sadar nya langsung menghempaskan badan nya di atas tempat tidur nya,tak ada perlawanan yang berarti dari setiap anggota tubuh nya, karena memang tak ada komando untuk nya bergerak melawan.
Demi menggapai cita-cita nya,Ijen Harus berjuang serta begelut dalam dunia ilmu yang tiada habis nya dan harus mengenal keras nya hidup di kota yang tentu nya berbeda 180 derajat dengan yang dikampung. Namun karena tekad nya yang kuat, ia pun bertekad untuk tetap terus melangkah kedepan, melanjutkan perjuangan nya dengan penuh usaha dan doa, agar apa yang selalu dicita-cita kan nya dapat tewujud.

Bersambung...
:)